Jumat, 22 November 2013

SEJARAH & KEBUDAYAAN JAWA TENGAH

Sejarah Jawa Tengah


Jawa Tengah sebagai provinsi dibentuk sejak zaman Hindia Belanda. Hingga tahun 1905, Jawa Tengah terdiri atas 5 wilayah (gewesten) yakni Semarang, Rembang, Kedu, Banyumas, dan Pekalongan. Surakarta masih merupakan daerah swapraja kerajaan (vorstenland) yang berdiri sendiri dan terdiri dari dua wilayah, Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran, sebagaimana Yogyakarta. Masing-masing gewest terdiri atas kabupaten-kabupaten. Waktu itu Rembang Gewest juga meliputi Regentschap Tuban dan Bojonegoro.
Setelah diberlakukannya Decentralisatie Besluit tahun 1905, gewesten diberi otonomi dan dibentuk Dewan Daerah. Selain itu juga dibentuk gemeente (kotapraja) yang otonom, yaitu Pekalongan, Tegal, Semarang, Salatiga, dan Magelang. Sejak tahun 1930, provinsi ditetapkan sebagai daerah otonom yang juga memiliki Dewan Provinsi (Provinciale Raad). Provinsi terdiri atas beberapa karesidenan (residentie), yang meliputi beberapa kabupaten (regentschap), dan dibagi lagi dalam beberapa kawedanan (district). Provinsi Jawa Tengah terdiri atas 5 karesidenan, yaitu: Pekalongan, Jepara-Rembang, Semarang, Banyumas, dan Kedu.
Menyusul kemerdekaan Indonesia, pada tahun 1946 Pemerintah membentuk daerah swapraja Kasunanan dan Mangkunegaran; dan dijadikan karesidenan. Pada tahun 1950 melalui Undang-undang ditetapkan pembentukan kabupaten dan kotamadya di Jawa Tengah yang meliputi 29 kabupaten dan 6 kotamadya. Penetapan Undang-undang tersebut hingga kini diperingati sebagai Hari Jadi Provinsi Jawa Tengah, yakni tanggal 15 Agustus 1950.


Pendidikan dan Budaya


Kebudayaan yang ada di wilayah Provinsi Jawa Tengah mayoritas merupakan kebudayaan Jawa, namun terdapat pula kantong-kantong kebudayaan Sunda di wilayah sebelah barat yang berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat terutama di Kabupaten Brebes dan Kabupaten Cilacap

Jawa Tengah adalah propinsi dimana budaya jawa banyak berkembang disini karena di Jawa Tengah dahulu banyak kerajaan berdiri disini itu terlihat dari berbagai peninggalan candi di Jawa Tengah.
Kebudayaan Jawa merupakan salah satu sosok kebudayaan yang tua. Kebudayaan Jawa mengakar di Jawa Tengah bermula dari kebudayaan nenek moyang yang bermukim di tepian Sungai Bengawan Solo pada ribuan tahun sebelum Masehi. Fosil manusia Jawa purba yang kini menghuni Museum Sangiran di Kabupaten Sragen, merupakan saksi sejarah, betapa tuanya bumi Jawa Tengah sebagai kawasan pemukiman yang dengan sendirinya merupakan suatu kawasan budaya. Dari kebudayaan purba itulah kemudian tumbuh dan berkembang sosok kebudayaan Jawa klasik yang hingga kini terus bergerak menuju kebudayaan Indonesia.
Kata klasik ini berasal dari kata Clacius, yaitu nama orang yang telah berhasil menciptakan karya sastra yang mempunyai “nilai tinggi”. Maka karya sastra yang tinggi nilainya hasil karya Clacius itu dinamakan “Clacici”. Padahal Clacici adalah golongan ningrat/bangsawan, sedangkan Clacius termasuk golongan ningrat, oleh karena itu hasil karya seni yang mempunyai nilai tinggi disebut “seni klasik”. Bengawan Solo bukan hanya terkenal dengan lagu ciptaan Gesang akan tetapi lebih daripada itu lembahnya terkenal sebagai tempat dimana banyak sekali diketemukan fosil dan peninggalan awal sejarah kehidupan di atas bumi ini.
Manusia dan kebudayaan merupakan suatu kesatuan yang erat sekali. Kedua-duanya tidak mungkin dipisahkan. Ada manusia ada kebudayaan, tidak akan ada kebudayaan jika tidak ada pendukungnya, yaitu manusia. Akan tetapi manusia itu hidupnya tidak berapa lama, ia lalu mati. Maka untuk melangsungkan kebudayaan, pendukungnya harus lebih dari satu orang, bahkan harus lebih dari satu turunan. Jadi harus diteruskan kepada anak cucu keturunan selanjutnya.
Kebudayaan Jawa klasik yang keagungannya diakui oleh dunia internasional dapat dilihat pada sejumlah warisan sejarah yang berupa candi, stupa, bahasa, sastra, kesenian dan adat istiadat. Candi Borobudur di dekat Magelang, candi Mendut, candi Pawon, Candi Prambanan di dekat Klaten, candi Dieng, candi Gedongsongo dan candi Sukuh merupakan warisan kebudayaan masa silam yang tak ternilai harganya. Teks-teks sastra yang terpahat di batu-batu prasasti, tergores di daun lontar dan tertulis di kitab-kitab merupakan khasanah sastra Jawa klasik yang hingga kini tidak habis-habisnya dikaji para ilmuwan. Ada pula warisan kebudayaan yang bermutu tinggi dalam wujud seni tari, seni musik, seni rupa, seni pedalangan,seni bangunan (arsitektur), seni busana, adat istiadat, dsbnya.
Masyarakat Jawa Tengah sebagai ahli waris kebudayaan Jawa klasik bukanlah masyarakat yang homogen atau sewarna, melainkan sebuah masyarakat besar yang mekar dalam keanekaragaman budaya. Hal itu tercermin pada tumbuhnya wilayah-wilayah budaya yang pada pokoknya terdiri atas wilayah budaya Negarigung, wilayah budaya Banyumasan dan wilayah budaya Pesisiran.

Wilayah budaya Negarigung yang mencakup daerah Surakarta – Yogyakarta dan sekitarnya merupakan wilayah budaya yang bergayutan dengan tradisikraton(Surakarta dan Yogyakarta). Wilayah budaya Banyumasan menjangkau daerah Banyumas, Kedu dan Bagelen. Sedangkan wilayah budaya pesisiran meliputi daerah Pantai Utara Jawa Tengah yang memanjang dari Timur ke Barat. Keragaman budaya tersebut merupakan kondisi dasar yang menguntungkan bagi mekarnya kreatifitas cipta, ras dan karsa yang terwujud pada sikap budaya.
Di daerah Jawa Tengah segala macam bidang seni tumbuh dan berkembang dengan baik, dan hal ini dapat kita saksikan pada peninggalan-peninggalan yang ada sekarang. Provinsi Jawa Tengah yang merupakan satu dari sepuluh DTW (Daerah Tujuan Wisata) di Indonesia dapat dengan mudah dijangkau dari segala penjuru, baik darat, laut maupun udara. Provinsi ini telah melewati sejarah yang panjang, dari jaman purba hingga sekarang.
Dalam usaha memperkenalkan daerah Jawa Tengah yang kaya budaya dan potensi alamnya, Provinsi Jawa Tengah sebagaimana provinsi-provinsi lain di Indonesia, mempunyai anjungan daerah di Taman Mini “Indonesia Indah” yang juga disebut “Anjungan Jawa Tengah”. Anjungan Jawa Tengah Taman Mini “Indonesia Indah” merupakan “show window” dari daerah Jawa Tengah.
Anjungan Jawa Tengah di Taman Mini “Indonesia Indah” dibangun untuk membawakan wajah budaya dan pembangunan Jawa Tengah pada umunya. Bangunan induk beserta bangunan lain di seputarnya secara keseluruhan merupakan kompleks perumahan yang dinamakan “Padepokan Jawa Tengah”, yang berarsitektur Jawa asli.
Bangunan induknya berupa “Pendopo Agung”, tiruan dari Pendopo Agung Istana Mangkunegaran di Surakarta, yang diakui sebagai salah satu pusat kebudayaan Jawa. Propinsi Jawa Tengah juga terkenal dengan sebutan “The Island of Temples”, karena memang di Jawa Tengah bertebaran candi-candi. Miniatur dari candi Borobudur, Prambanan dan Mendut ditampilkan pula di Padepokan Jawa Tengah. Padepokan Jawa Tengah juga merupakan tempat untuk mengenal seni bangunan Jawa yang tidak hanya berupa bangunan rumah tempat tinggal tetapi juga seni bangunan peninggalan dari jaman Sanjayawangça dan Syailendrawangça.
Pendopo Agung yang berbentuk ”Joglo Trajumas” itu berkesan anggun karena atapnya yang luas dengan ditopang 4 (empat) Soko guru (tiang pokok), 12 (dua belas) Soko Goco dan 20 (dua puluh) Soko Rowo. Kesemuanya membuat penampilan bangunan itu berkesan momot, artinya berkemampuan menampung segala hal, sesuai dengan fungsinya sebagai tempat menerima tamu. Bangunan Pendopo Agung ini masih dihubungkan dengan ruang Pringgitan, yang aslinya sebagai tempat pertunjukan ringgit atau wayang kulit. Pringgitan ini berarsitektur Limas. Bangunan lain adalah bentuk-bentuk rumah adat “Joglo Tajuk Mangkurat”, “Joglo Pangrawit Apitan” dan rumah bercorak “Doro Gepak”.

Sesuai dengan fungsinya Anjungan Jawa Tengah selalu mempergelarkan kesenia-kesenian daerah yang secara tetap didatangkan dari Kabupaten-kabupaten / Kotamadya di Provinsi Jawa Tengah di samping pergelaran kesenian dari sanggar-sanggar yang ada di Ibukota, dengan tidak meninggalkan keadiluhungan nilai-nilai budaya Jawa yang hingga kini masih tampak mewarnai berbagai aspek seni budaya itu sendiri, adat-istiadat dan tata cara kehidupan masyarakat Jawa Tengah.
Bangunan Joglo Pangrawit Apitan di Anjungan Jawa Tengah TMII terletak bersebelahan dengan sebuah panggung terbuka yang berlatar belakang sebuah bukit dengan bangunan Makara terbuat dari batu cadas hitam bertuliskan kata-kata “Ojo Dumeh” dalam huruf Jawa berukuran besar. Perkataan Ojo Dumeh mempunyai makna yang dalam, sebab artinya, “Jangan Sombong”, sebuah anjuran untuk senantiasa mampu mengendalikan diri, justru di saat seseorang merasa mempunyai keberhasilan. Di panggung inilah pengunjung dapat menyaksikan pergelaran acara khusus Anjungan yang biasanya merupakan acara-acara pilihan.
Mahakarya yang sungguh mempesona adalah batik di jawa tengah setiap daerah mempunya corak batik tulis yang berbeda beda mereka mempunyai ciri khas sendiri sendiri selain batik ada juga kesenian yang tak kalah luar biasanaya ada wayang kulit yang sudah dia kaui dunia sebagai warisan budaya dunia oleh unesco ada juga tembang- tembang (lagu-lagu ) jawa yang diiringi oleh gamelan (alat musik) yang juga dikenal dengan campursariada juga ketoprak yang merupakan pertunjukan seni peran khas dari jawa.
Di Jawa Tengah juga masih ada kerjaan yang samapai sekarang masih berdiri tepatnya dikota solo yang dikenal dengan kasunanan solo. Budaya Jawa Tengah sungguh banyak mulai dari wayang, wayang orang, ketoprak,tari dan masih banyak lagi.

Berikut beberapa budaya jawa tengah :
 1. Kraton Solo (Centraljava Surakarta)
 2. Batik
 3. Ketoprak
 4. Pagelaran Wayang Kulit
 5. Tari Srikandi / Tari Panah
 6. Pertujukan Wayang Orang
 7. Sinden
 8. Tayub
 9. Batik
 10.Keris

Kamis, 21 November 2013

SEJARAH & KEBUDAYAAN TEMPAT TINGGALKU


SEJARAH KAMPUNG SINGARAJA


Berawal dari Raja Buleleng, ketika itu I Gusti Panji Sakti bersama dengan Taruna Goaknya membantu Raja Blambangan berperang melawan Kerajaan Mataram dibawah pimpinanan Raja Mataram Pakubuwono I sekitar tahun 1639 masehi. Putra I Gusti Panji Sakti yang bernama I Gusti Panji Danu Resta yang dikirim pertama membantu Pangeran Mas untuk merebut tahta Kerajaan Mataran dari saudaranya Sultan Agung, terbunuh dalam perang itu. Dengan kekuatan pasukan goaknya I Gusti Panji Sakti akhirnya mampu mengalahkan Raja Pakubuwono I, Raja Mataram saat itu. Disinilah ada perjanjian, diantaranya Raja Buleleng, diberi gelar Anglurah Panji Sakti dan seekor gajah dengan tiga orang pawangnya serta 800 laskar dari Blambangan sebagai pengganti kerugian.
Setelah di Buleleng, Raja menempatkan 800 laskar dari Blambangan di daerah Pegayaman penjaga perbatasan Buleleng dari Kerajaan lain. Sementara seekor gajah dikandangkan di Banjar Peguyangan, kemudian ketiga pawangnya menempati daerah Banjar Jawa sekarang. Dari sinilah Nurul Mubin, mantan Patih Kerajaan Sukasada berniat menyerang Kerajaan Buleleng, Nurul Mubin mempunyai peran penting, sehingga Raja Sukasada takluk dibawah Kerajaan Buleleng. Diceritakan semua panjak dari Sukasada kebal senjata, rajanya berniat menyerang Kerajaan Buleleng. Kabar ini didengar oleh Raja Buleleng, sehingga raja memerintahkan Nurul Mubin yang ada di Pegayaman untuk mencari tahu kelemahan dari kekebalan panjak Kerajaan Sukasada. Lewat mengotori air yang dipakai sehari-hari oleh panjak Kerajaan Sukasada, yang kebetulan bersumber di daerah Pegayaman oleh Nurul Mubin, hilanglah kekebalan panjak Kerajaan Sukasada. Maka Kerajaan Sukasada takluk dibawah Kerajaan Buleleng.
Pengabdian lainnya ditunjukkan ketika menggempur Kerajaan Mengwi sekitar tahun 1711 Masehi, karena pinangan Raja I Gusti Panji Sakti untuk mengawini I Gusti Ayu Rai adik Raja Mengwi ditolak mentah-mentah oleh Raja Mengwi I Gusti Ngurah Agung. Atas penolakan itu I Gusti Panji Sakti murka, lantas mengerahkan semua Laskar Goaknya menyeraang Kerajaan Mengwi. Sebagai pelopor penyerangan itu adalah Laskar Blambangan yang ada di Pegayaman, dibawah pimpinan Nurul Mubin. Dikisahkan Kerajaan Mengwi kalah dan menerima pinangan dari Kerajaan Buleleng.
Atas jasa-jasanya itulah, Raja Buleleng I Gusti Panji Sakti meminta anak Nurul Mubin, Muhammad Ali diajak memarek (mengabdi) di Puri Buleleng, dan ditempatkan disebelah timur Puri Buleleng yang sekarang dikenal dengan nama Kampung Islam (bagian dari kelurahan kampung Singaraja). Di tempat inilah Nurul Mubin dan putranya Muhammad Ali bin Nurul Mubin mengembangkan ajaran Islam dengan menggunakan tempat tinggalnya yang berbentuk Joglo untuk kegiatan sembahyang (sholat). Akhirnya tahun berganti tahun, oleh keturunannya mulai direnovasi hingga kini menjadi masjid Nurul Mubin yang didirikan sekitar ± 1725 Masehi.

KEBUDAYAAN KAMPUNG SINGARAJA


Sejak disebarkannya ajaran Islam di Kampung Singaraja yang khususnya di Kampung Islam timbullah Kebudayaan seperti Hadrah yang sering dibawakan saat penyambutan tamu dan hingga sekarang adrah sering digunakan untuk acara pernikahan. Disamping itu adapun budaya Pencak Silat yang biasanya di lakukan pada saat Hari Raya Besar Maulid Nabi Muhammad saw. dan hingga saat ini Pencak Silat dan Hadrah di Kampung Islam masih berjalan dengan lancar hingga terkenal dikalangan masyarakat umum seperti masyarakat yang ada di Pegayaman dan bahkan sampai ke Desa Tegal Linggah yang terletak di Kecamatan Sukasada. Terkadang juga Hadrah serta Pencak Silat yang ada di Kampung Islam ini sering di undang untuk acara menyambut Hari Raya Maulid Nabi Muhammad saw.