Sejarah Jawa Tengah
Jawa Tengah sebagai provinsi
dibentuk sejak zaman Hindia Belanda. Hingga tahun 1905, Jawa Tengah terdiri
atas 5 wilayah (gewesten) yakni Semarang, Rembang, Kedu, Banyumas, dan
Pekalongan. Surakarta masih merupakan daerah swapraja kerajaan (vorstenland)
yang berdiri sendiri dan terdiri dari dua wilayah, Kasunanan Surakarta dan
Mangkunegaran, sebagaimana Yogyakarta. Masing-masing gewest terdiri atas
kabupaten-kabupaten. Waktu itu Rembang Gewest juga meliputi Regentschap Tuban
dan Bojonegoro.
Setelah diberlakukannya
Decentralisatie Besluit tahun 1905, gewesten diberi otonomi dan dibentuk Dewan
Daerah. Selain itu juga dibentuk gemeente (kotapraja) yang otonom, yaitu
Pekalongan, Tegal, Semarang, Salatiga, dan Magelang. Sejak tahun 1930, provinsi
ditetapkan sebagai daerah otonom yang juga memiliki Dewan Provinsi (Provinciale
Raad). Provinsi terdiri atas beberapa karesidenan (residentie), yang meliputi
beberapa kabupaten (regentschap), dan dibagi lagi dalam beberapa kawedanan
(district). Provinsi Jawa Tengah terdiri atas 5 karesidenan, yaitu: Pekalongan,
Jepara-Rembang, Semarang, Banyumas, dan Kedu.
Menyusul kemerdekaan Indonesia,
pada tahun 1946 Pemerintah membentuk daerah swapraja Kasunanan dan
Mangkunegaran; dan dijadikan karesidenan. Pada tahun 1950 melalui Undang-undang
ditetapkan pembentukan kabupaten dan kotamadya di Jawa Tengah yang meliputi 29
kabupaten dan 6 kotamadya. Penetapan Undang-undang tersebut hingga kini
diperingati sebagai Hari Jadi Provinsi Jawa Tengah, yakni tanggal 15 Agustus
1950.
Pendidikan dan Budaya
Kebudayaan yang ada di wilayah
Provinsi Jawa Tengah mayoritas merupakan kebudayaan Jawa, namun terdapat pula
kantong-kantong kebudayaan Sunda di wilayah sebelah barat yang berbatasan
dengan Provinsi Jawa Barat terutama di Kabupaten Brebes dan Kabupaten Cilacap
Jawa Tengah adalah propinsi
dimana budaya jawa banyak berkembang disini karena di Jawa Tengah dahulu banyak
kerajaan berdiri disini itu terlihat dari berbagai peninggalan candi di Jawa
Tengah.
Kebudayaan Jawa merupakan salah
satu sosok kebudayaan yang tua. Kebudayaan Jawa mengakar di Jawa Tengah bermula
dari kebudayaan nenek moyang yang bermukim di tepian Sungai Bengawan Solo pada
ribuan tahun sebelum Masehi. Fosil manusia Jawa purba yang kini menghuni Museum
Sangiran di Kabupaten Sragen, merupakan saksi sejarah, betapa tuanya bumi Jawa
Tengah sebagai kawasan pemukiman yang dengan sendirinya merupakan suatu kawasan
budaya. Dari kebudayaan purba itulah kemudian tumbuh dan berkembang sosok
kebudayaan Jawa klasik yang hingga kini terus bergerak menuju kebudayaan
Indonesia.
Kata klasik ini berasal dari kata
Clacius, yaitu nama orang yang telah berhasil menciptakan karya sastra yang
mempunyai “nilai tinggi”. Maka karya sastra yang tinggi nilainya hasil karya
Clacius itu dinamakan “Clacici”. Padahal Clacici adalah golongan
ningrat/bangsawan, sedangkan Clacius termasuk golongan ningrat, oleh karena itu
hasil karya seni yang mempunyai nilai tinggi disebut “seni klasik”. Bengawan
Solo bukan hanya terkenal dengan lagu ciptaan Gesang akan tetapi lebih daripada
itu lembahnya terkenal sebagai tempat dimana banyak sekali diketemukan fosil
dan peninggalan awal sejarah kehidupan di atas bumi ini.
Manusia dan kebudayaan merupakan
suatu kesatuan yang erat sekali. Kedua-duanya tidak mungkin dipisahkan. Ada
manusia ada kebudayaan, tidak akan ada kebudayaan jika tidak ada pendukungnya,
yaitu manusia. Akan tetapi manusia itu hidupnya tidak berapa lama, ia lalu
mati. Maka untuk melangsungkan kebudayaan, pendukungnya harus lebih dari satu
orang, bahkan harus lebih dari satu turunan. Jadi harus diteruskan kepada anak
cucu keturunan selanjutnya.
Kebudayaan Jawa klasik yang
keagungannya diakui oleh dunia internasional dapat dilihat pada sejumlah
warisan sejarah yang berupa candi, stupa, bahasa, sastra, kesenian dan adat
istiadat. Candi Borobudur di dekat Magelang, candi Mendut, candi Pawon, Candi
Prambanan di dekat Klaten, candi Dieng, candi Gedongsongo dan candi Sukuh
merupakan warisan kebudayaan masa silam yang tak ternilai harganya. Teks-teks
sastra yang terpahat di batu-batu prasasti, tergores di daun lontar dan
tertulis di kitab-kitab merupakan khasanah sastra Jawa klasik yang hingga kini
tidak habis-habisnya dikaji para ilmuwan. Ada pula warisan kebudayaan yang
bermutu tinggi dalam wujud seni tari, seni musik, seni rupa, seni
pedalangan,seni bangunan (arsitektur), seni busana, adat istiadat, dsbnya.
Masyarakat Jawa Tengah sebagai
ahli waris kebudayaan Jawa klasik bukanlah masyarakat yang homogen atau
sewarna, melainkan sebuah masyarakat besar yang mekar dalam keanekaragaman
budaya. Hal itu tercermin pada tumbuhnya wilayah-wilayah budaya yang pada
pokoknya terdiri atas wilayah budaya Negarigung, wilayah budaya Banyumasan dan
wilayah budaya Pesisiran.
Wilayah budaya Negarigung yang
mencakup daerah Surakarta – Yogyakarta dan sekitarnya merupakan wilayah budaya
yang bergayutan dengan tradisikraton(Surakarta dan Yogyakarta). Wilayah budaya
Banyumasan menjangkau daerah Banyumas, Kedu dan Bagelen. Sedangkan wilayah
budaya pesisiran meliputi daerah Pantai Utara Jawa Tengah yang memanjang dari
Timur ke Barat. Keragaman budaya tersebut merupakan kondisi dasar yang
menguntungkan bagi mekarnya kreatifitas cipta, ras dan karsa yang terwujud pada
sikap budaya.
Di daerah Jawa Tengah segala
macam bidang seni tumbuh dan berkembang dengan baik, dan hal ini dapat kita
saksikan pada peninggalan-peninggalan yang ada sekarang. Provinsi Jawa Tengah
yang merupakan satu dari sepuluh DTW (Daerah Tujuan Wisata) di Indonesia dapat
dengan mudah dijangkau dari segala penjuru, baik darat, laut maupun udara.
Provinsi ini telah melewati sejarah yang panjang, dari jaman purba hingga
sekarang.
Dalam usaha memperkenalkan daerah
Jawa Tengah yang kaya budaya dan potensi alamnya, Provinsi Jawa Tengah
sebagaimana provinsi-provinsi lain di Indonesia, mempunyai anjungan daerah di
Taman Mini “Indonesia Indah” yang juga disebut “Anjungan Jawa Tengah”. Anjungan
Jawa Tengah Taman Mini “Indonesia Indah” merupakan “show window” dari daerah
Jawa Tengah.
Anjungan Jawa Tengah di Taman
Mini “Indonesia Indah” dibangun untuk membawakan wajah budaya dan pembangunan
Jawa Tengah pada umunya. Bangunan induk beserta bangunan lain di seputarnya
secara keseluruhan merupakan kompleks perumahan yang dinamakan “Padepokan Jawa
Tengah”, yang berarsitektur Jawa asli.
Bangunan induknya berupa “Pendopo
Agung”, tiruan dari Pendopo Agung Istana Mangkunegaran di Surakarta, yang
diakui sebagai salah satu pusat kebudayaan Jawa. Propinsi Jawa Tengah juga
terkenal dengan sebutan “The Island of Temples”, karena memang di Jawa Tengah
bertebaran candi-candi. Miniatur dari candi Borobudur, Prambanan dan Mendut
ditampilkan pula di Padepokan Jawa Tengah. Padepokan Jawa Tengah juga merupakan
tempat untuk mengenal seni bangunan Jawa yang tidak hanya berupa bangunan rumah
tempat tinggal tetapi juga seni bangunan peninggalan dari jaman Sanjayawangça
dan Syailendrawangça.
Pendopo Agung yang berbentuk
”Joglo Trajumas” itu berkesan anggun karena atapnya yang luas dengan ditopang 4
(empat) Soko guru (tiang pokok), 12 (dua belas) Soko Goco dan 20 (dua puluh)
Soko Rowo. Kesemuanya membuat penampilan bangunan itu berkesan momot, artinya
berkemampuan menampung segala hal, sesuai dengan fungsinya sebagai tempat
menerima tamu. Bangunan Pendopo Agung ini masih dihubungkan dengan ruang
Pringgitan, yang aslinya sebagai tempat pertunjukan ringgit atau wayang kulit.
Pringgitan ini berarsitektur Limas. Bangunan lain adalah bentuk-bentuk rumah
adat “Joglo Tajuk Mangkurat”, “Joglo Pangrawit Apitan” dan rumah bercorak “Doro
Gepak”.
Sesuai dengan fungsinya Anjungan
Jawa Tengah selalu mempergelarkan kesenia-kesenian daerah yang secara tetap
didatangkan dari Kabupaten-kabupaten / Kotamadya di Provinsi Jawa Tengah di
samping pergelaran kesenian dari sanggar-sanggar yang ada di Ibukota, dengan
tidak meninggalkan keadiluhungan nilai-nilai budaya Jawa yang hingga kini masih
tampak mewarnai berbagai aspek seni budaya itu sendiri, adat-istiadat dan tata
cara kehidupan masyarakat Jawa Tengah.
Bangunan Joglo Pangrawit Apitan
di Anjungan Jawa Tengah TMII terletak bersebelahan dengan sebuah panggung
terbuka yang berlatar belakang sebuah bukit dengan bangunan Makara terbuat dari
batu cadas hitam bertuliskan kata-kata “Ojo Dumeh” dalam huruf Jawa berukuran
besar. Perkataan Ojo Dumeh mempunyai makna yang dalam, sebab artinya, “Jangan
Sombong”, sebuah anjuran untuk senantiasa mampu mengendalikan diri, justru di
saat seseorang merasa mempunyai keberhasilan. Di panggung inilah pengunjung
dapat menyaksikan pergelaran acara khusus Anjungan yang biasanya merupakan
acara-acara pilihan.
Mahakarya yang sungguh mempesona
adalah batik di jawa tengah setiap daerah mempunya corak batik tulis yang
berbeda beda mereka mempunyai ciri khas sendiri sendiri selain batik ada juga
kesenian yang tak kalah luar biasanaya ada wayang kulit yang sudah dia kaui
dunia sebagai warisan budaya dunia oleh unesco ada juga tembang- tembang
(lagu-lagu ) jawa yang diiringi oleh gamelan (alat musik) yang juga dikenal
dengan campursariada juga ketoprak yang merupakan pertunjukan seni peran khas
dari jawa.
Di Jawa Tengah juga masih ada
kerjaan yang samapai sekarang masih berdiri tepatnya dikota solo yang dikenal
dengan kasunanan solo. Budaya Jawa Tengah sungguh banyak mulai dari wayang, wayang
orang, ketoprak,tari dan masih banyak lagi.
Berikut beberapa budaya jawa
tengah :
1. Kraton Solo (Centraljava Surakarta)
2. Batik
3. Ketoprak
4. Pagelaran Wayang Kulit
5. Tari Srikandi / Tari Panah
6. Pertujukan Wayang Orang
7. Sinden
8. Tayub
9. Batik
10.Keris